Yah,
ada banyak hal yang harus bikin aku terbang ke Inggris, urgent banget soalnya,
menyangkut masa depanku. Karena aku harus ketemu calon suamiku pangeran Harry,
jenguk keponakan (bayinya kakak William), dan ketemu calon mertua pangeran
Charles mumpung mau lebaran. Mungkin aku harus bawa ketupat opor sekalian *trus
habis tu aku ketangkep polisi Inggris karena dianggap gila* Hahaha -_-
Seriusan
ini, ada ‘sesuatu’ yang bikin aku pengen banget ke Inggris. Kenapa kenapa
kenapa? Because I’m a Trueblue. *cieeee*.
Trueblue apaan sih? Apakah aku harus bener-bener biru? Digebukin juga bisa jadi
biru. Hmmm, haruskah aku nyebur cat air warna biru? Emang aku kuas? Hohoho. Bukaaan,Trueblue itu fans-nya klub paling keren
sedunia (menurut gue) mana lagi kalo bukan The Blues Chelsea *horeeeee* :D
Percaya
gak kalo aku Trueblue??? cerita dikit ni ye, aku suka Chelsea udah dari SMP bro
(sekarang udah kuliah smester akhir). Pertama kali alasannya karena Chelsea
seragamnya warnanya biru. Nah lo, polos bgt kan aku?? trus gak sengaja tu liat
kaptennya yang keren itu, om Terry (boleh dong panggil om, kan waktu itu aku
masih SMP). Setelah itu keterusan deh nonton dan ngikuti Chelsea terus.
Hingga
di masa-masa kelam pun, cuma Chelsea yang menemaniku #ciegitu. Ketika malam
minggu itu malam yang panjang, temen-temen gue pada pergi entah kemana mencari
wangsit atau apalah gitu, aku cukup melakukan satu hal. Nonton Liga Inggris. (gue
nyeritain ini separo bangga separo ngenes). Huhuhuhu. Modal tivi sama listrik
(yang tentu aja punya orang tua gue), malem mingguku di temenin 11 cowok keren.
Mulai dari jaman masih ada Sheva, Drogba, dan jaman keemasannya Lampard. Mulai dari
pelatihnya Mourinho sampe gonta-ganti dan sekarang balik ke Mourinho lagi.
Aku
sempet vakum juga beberapa saat. Kenapa? Gue ujian Nasional men, beneran, Ujian
Nasional !!!!!(njuk ngopo?). Kan sebagai pelajar Indonesia yang baik, wajar
dong kalo aku pengen ikut mencerdaskan bangsa dengan mensuskseskan ujian
nasional. Iya gak? Iya dong. Jadi aku puasa nonton Liga Inggris dulu. Eh tapi
kayaknya puasanya keterusan -_-. Karena puasa Liga Inggris itu ada, tapi kan
Lebaran Liga Inggris itu gak ada. Akhirnya aku malah keterusan jadi gak
ngikutin Liga Inggris lagi nyampe sekarang. Huhuhuhu. Tolong maafkan sayaaaaaaa
*nyodorin kepala siap dipenggal* :p
Hingga
tiba saatnya ada kabar kalo Chelsea dateng ke Indonesia. Oh meeeen, aku kira om
Terry dan kawan-kawan itu cuma pangeran negeri dongeng yang bisa diliat wujud
gantengnya tapi sebenernya mereka hanyalah ilusi. Bukan bukan, mereka bukan
ilusi. Mereka beneran dateng ke Indonesia dan kalo kita dateng ke Jakarta, kita
bisa liat mereka secara langsung. Aigoooooo :3
Tapi
ya apalah daya, mugkin belum jodoh untuk nonton om Terry secara langsung. Waktu
itu lagi ramadhan juga kan, jadi ya sudahlah. Aku terima hanya dengan nonton
siaran langsung mereka dari GBK, nonton dari tivi setelah sholat tarawih. Huhuhu.
tapi setelah itu muncul keinginan baru, sambil aku update status di fesbuk, “sekerang
belum bisa nonton Chelsea di jakarta, tapi suatu saat aku pasti nonton mereka
di Stamford Bridge London Inggris”. Cieeee, nulis itu sambil pake semangat membara
bung. Hahahaha :D
Bayangan
bisa ke London, ke kompleks stadion Stamford Bridge bikin aku makin membiru. Apanya?
Mukanya? Bukan, tapi hatinya *eciieeeee*. Gak harus masuk ke stadionnya gak apa2
lah. konon katanya di sekitar Stamford Bridge, rumah-rumah di sana itu serba
biru semua. Bayangkan aku bisa kesana, berbaur dengan para Trueblue dari negara
kelahiran Chelsea? Subhanallah, itu juga jadi salah satu impianku. Target lah,
selama aku hidup,aku gak akan berhenti berusaha untuk minimal 1 kali
mengunjungi Stamford Bridge. Bolehkan kan mimpi? Boleh dong, kan mimpi tu
gratis :p
Nah,
semuanya aja nih yang pernah baca blog ini, mungkin kalo bukan taun ini, taun
depan, atau dalam waktu dekat ini, liat aja ya. Insya Allah aku pasti ke
Inggris. Entah lewat menang undian, beasiswa, liburan, kuliah S2, atau apapun
itu. Mau 5 taun lg, 10 taun lg, atau bahkan saat aku udah tua nanti, Insya Allah, aku pasti ke Inggris!!!!!!
KANNA menatap rumah barunya yang
sebenarnya tidak terlalu bagus jika dibanding rumah lamanya. Rumah besar yang
hampir seluruhnya terbuat dari kayu. Jika dilihat dari depan, rumah ini
terkesan sempit. Rumah ini memanjang ke belakang. Dan di belakang rumahnya terhampar
hutan Irustone. Memang di daerah Irustone ini sebagian besar berupa hutan
dengan pohon pinus yang menjulang tinggi.
Beranda depan rumah barunya
cukup luas. Terdapat dua kursi kayu dan satu meja bundar yang juga terbuat dari
kayu. Kanna merogoh tas kecilnya dan meraih kunci. Pintu terbuka dengan suara
derit yang menandakan pintu itu sudah tua umurnya. Beruntung sekarang ini masih
siang, jadi kegelapan di sini belum terlalu pekat.
Seperti janji agen perumahan,
perabotan di sini masih sangat bersih. Hampir semua barang di sini tertutup
plastik.
“Ya, aku butuh banyak waktu
untuk membuka semua plastik yang menutupi perabotan di seluruh rumah ini”,
pikir Kanna. Dia memulai dengan membuka plastik yang menutupi sofa. Sofa itu
terasa empuk setelah Kanna mencoba mendudukinya. Kanna menaruh semua barang
bawaannya di sebelah sofa dan kemudian beristirahat sebentar. Lima jam
perjalanan dari kota asalnya membuatnya lelah. Sebenarnya dia ingin segera ke
kamarnya lalu tidur. Bahkan dia masih terlalu malas untuk melakukannya.
Sepuluh menit berlalu, Kanna
beranjak dari kamarnya dan membawa semua tas bawaannya. Dia sengaja memilih
ruangan berjendela yang menghadap ke jalan raya itu untuk kamar tidurnya. Kanna
lebih suka memandang jalan raya daripada harus memandang kegelapan hutan
Irustone.
Lemari di samping kasurnya
segera terisi penuh setelah Kanna selesai mengeluarkan semua bajunya dan
mengosongkan isi tasnya. Kanna hanya membawa baju dan peralatan yang menurutnya
penting. Barang-barang berat lainnya dia percayakan pada jasa pindahan yang
akan mengantarkan semua barangnya besok pagi. Kini Kanna memilih untuk tidur
selagi dia masih lelah dan butuh istirahat.
*****
Baru saja jasa pindahan
mengantarkan barang-barangnya. Semua barang besar seperti lemari, meja, dan bufet
sudah terletak rapi di tempat yang seharusnya. Sekarang giliran Kanna
mengeluarkan barang-barang yang terbungkus kardus. Dan kardus-kardus ini tidak
sedikit jumlahnya. Dimulai dari kardus yang paling dekat dengannya.
Kardus pertama berisi buku-buku.
Mulai dari buku kecil sampai buku besar dan tebal. Segala macam jenis buku ada
di kardus ini. Komik, novel, kamus, buku pelajaran, ensiklopedi, buku panduan,
biografi dan lain-lain. Kanna sangat menyukai buku. Karena memang buku yang
bisa mengalihkan pikirannya dari rasa kesepiannya.
Sejak kecil, Kanna terbiasa
sendiri. Lebih tepatnya sejak orang tuanya berpisah saat umurnya 4 tahun.
Setelah berpisah, ibunya pergi dengan membawa saudara kembarnya, Karra. Karra
adalah satu-satunya teman Kanna. Kanna memang tidak pandai bergaul dengan teman
sebayanya. Bahkan sudah merasa cukup, asal ada Karra.
Berbeda dengan Karra. Sebenarnya
hanya perbedaan kecil. Pada dasarnya, Kanna dan Karra sama-sama pendiam. Namun
Karra lebih terbuka dengan teman-teman yang lain. Di saat Kanna memilih untuk
berdiam di rumah, Karra-lah yang mengajak Kanna bermain di luar, mencari teman.
Tapi saat itu mereka masih sangat kecil. Tentu saja Kanna masih ingat tentang
apa yang terjadi di masa kecilnya. Yang selalu membuat Kanna ingin tahu, seperti
apa Karra sekarang. Di mana dia sekarang?
Mungkin tidak akan sulit
mengenali Karra jika suatu saat mereka bertemu. Ada satu petunjuk valid yang
tidak bisa dipungkiri lagi. Wajah mereka. Kanna dan Karra adalah sepasang
kembar identik. Kadang jika perasaan ingin bertemu sedang sangat memuncak,
Kanna hanya cukup berdiri di depan cermin. Dan menganggap sosok di pantulan
cermin adalah Karra. Walaupun Kanna tidak yakin kalau Karra masih semirip waktu
mereka kecil. Kanna berpikir, mungkin Karra tidak akan punya raut wajah
semurung dirinya.
Bel berbentuk lonceng berbunyi
dari arah pintu depan. Kanna heran, siapa yang datang ke sini? Dia bahkan belum
mengenal seorangpun di daerah sini. Mungkinkah teman-teman dari kota asalnya?
Itu jelas tidak mungkin. Jasa pengangkut barang bisa saja kembali ke sini untuk
mengambil barang yang ketinggalan. Kanna membukakan pintu.
“Selamat pagi, Kanna Sypersone”,
kata seorang wanita yang muncul dari pintu depan. Gadis ini sepertinya seumuran
dengannya. Rambutnya hanya sekitar 10 senti lebih panjang dibanding rambut
Kanna yang sebahu. Hanya saja, rambut gadis itu lebih tebal dan mengombak.
“Bagaimana kau...”, Kanna masih
heran.
“Ah, maaf. Aku tetanggamu.
Namaku Dzaya. D-Z-A-Y-A. Memang sulit untuk mengucapkan namaku. Tapi anggap
saja tidak ada huruf D di namaku”, Dzaya tersenyum. Kanna masih menunjukkan
sikap heran dan bergeming. “Emm, rumahku di sana. Sebelah barat rumahmu.
Mungkin 20 meter dari sini”. Dzaya menunjuk sebelah barat.
“Eh, oke. Ya, silakan masuk.
Maaf berantakan. Kau pasti tahu, aku sedang dalam proses pindahan”, Kanna
mencoba bersikap ramah.
“Ya, tidak buruk. Aku suka rumah
ini”, dia duduk di sofa yang paling dekat dengan pintu.
“Apa kau ingin minum sesuatu?
Tidak banyak yang bisa kepersiapkan untukmu. Mengingat aku sedang... yah,
pindahan. Yang ada di rumah ini hanya perabotan”.
“Jangan khawatir. Sebagai
sambutan selamat datang dari tetangga, aku membawakan ini. Kue buatan ibuku”.
Dzaya menyerahkan bungkusan yang sedari tadi ada di pangkuannya. Kanna
menerimanya dengan takjub.
“Kurasa ini belebihan. Tapi,
terima kasih banyak. Terima kasih”. Kanna berusaha tersenyum setulus mungkin.
Dia benar-benar ingin berterimakasih. Sudah lama sekali dia tidak merasakan
keramahan seperti ini.
“Oh, ini tidak seberapa. Kalau
kau mengizinkan, aku bersedia membantumu mengatur perabotan”, tawar Dzaya.
“Emm, baiklah. Kau bisa memulai
dengan memisahkan buku-buku itu”, Kanna menunjuk kardus-kardus yang berisi
buku.
“Baiklah”, dia beranjak
menghampiri kardus yang belu diselesaikan Kanna.
Kanna masih benar-benar takjub.
Dia baru saja bertemu dengan seseorang yang mau membantu pindahannya-kecuali
jasa pindahan tentu saja-. Dan bukannya dia yang balas memberi sesuatu, justru
tamunyalah yang membawakan kue. Apalagi, Dzaya sangat ramah. Kanna mulai
berpikir untuk menjadikan Dzaya sebagai temannya.
“Apa tidak susah memisahkan
buku-buku ini?”, Kanna berusaha memulai percakapan (yang jarang dia lakukan).
Dia ingin berbicara lebih lama dengan Dzaya.
“Aku sudah terbiasa. Ah ya, aku
lupa memberi tahu. Aku bekerja di Perpustakaan Irustone. Sama sepertimu”.
“Oh ya? Bagus”, Kanna sangat
sulit menyembunyikan rasa senangnya. Bahkan sebelum dia bekerja, dia sudah
menemukan teman yang sangat baik.
Pekerjaan ini juga salah satu
alasan kepindahnnya ke Irustone. Seperti saat dia kecil, hanya buku yang bisa
menghibur Kanna. Selulusnya dari sekolah, Kanna langsung diterima bekerja di
perpustakaan di kota asalnya. Bahkan sebelumnya saat masih sekolah, dia pun
punya kerja sambilan di sebuah taman bacaan. Tapi itu sebelum ayahnya
meninggal. Ia merasa sangat kesepian setelah ayahnya pergi. Bahkan buku tidak
dapat lagi mengisi kekosongan yang ditinggalkan ayahnya.
“Emm, apa kau tinggal sendiri di
sini? Dari tadi aku belum melihat siapapun selain kamu”, tanya Dzaya sambil
melihat sekeliling.
Kanna tertegun. Baru saja dia
merasa kalau rumahnya terasa sangat sepi. “Ya, aku pindah ke sini sendirian”,
jawab Kanna. Sambil berusaha tersenyum.
“Di mana keluargamu? Ayah? Ibu?
Atau mungkin kau punya saudara?”.
“Aku tidak tahu. Yang pasti,
ayahku sudah meninggal. Setahun yang lalu”.
“Ibu?”.
“Orang tuaku berpisah saat
umurku 4 tahun”, Kanna berhenti sejenak. Dia bingung, haruskah dia menceritakan
semuanya pada Dzaya? Kanna baru saja mengenalnya. Tapi sepertinya Kanna percaya
bahwa kelak Dzaya akan menjadi temannya. Dan Kanna melanjutkan, “Dan setelah
itu ibuku pergi membawa serta satu-satunya saudaraku”.
“Oh”, jeda beberapa saat. “Maaf,
aku sudah membuatmu bercerita seperti ini”, kata Dzaya agak lirih, masih sambil
memisah-misah buku.
“Aku dari dulu memang ingin
bercerita tentang ini. Hanya saja, aku belum menemukan orang yang tepat untuk
mendengarkan”.
“Emmm, terima kasih sudah mau
bercerita padaku. Kalau kau merasa kesepian di rumah ini, kau boleh pergi ke
rumahku. Aku tinggal dengan ibuku. Atau kalau tidak, kapan saja kau bisa
memintaku untuk menginap di sini”, kata Dzaya sambil tertawa.
Kanna ikut tertawa. Kemudian
mereka terus saling bercerita tentang masa lalu mereka berdua.
“Sepertinya aku pernah melihat seseorang
yang sangat mirip denganmu”, kata Dzaya sambil lalu.
Seketika Kanna langsung terdiam.
Lalu bertanya,”Di mana kau melihatnya?”
“Emm, tidak jauh”.
“Namanya? Karra?”.
“Aku tidak tahu. Sepertinya
bukan. Sudahlah, lain kali mungkin aku bertemu orang itu lagi”, kata Dzaya.
“Baiklah”, Kanna memusatkan
perhatiannya ke buku-buku lagi.
*****
“Terima kasih atas bantuannya.
Lain kali aku yang akan mengunjungi rumahmu”, Kanna mengantarkan Dzaya sampai
di pagar rumahnya.
“Akan kutunggu”, Dzaya berjalan keluar,
menuju ke arah rumahnya.
Dan Kanna terus memperhatikan
Dzaya sampai tidak terlihat lagi.
siapa sih yang gak pengen jadi novelis. iya gak? jadi gak ada salahnya dong kalo aku juga coba-coba nulis. ini ada prolog dari calon novel. kalo aneh, ya komen aja. kalo penasaran ya komen juga. kenapa cuma prolog? pelit amat? ya namanya juga cuma buat pancingan. hahahaha
PROLOG
AKU ingat semuanya. Aku ingat
saat pertama kali aku bisa mengucapkan sepatah kata. Aku ingat saat pertama
kali aku bisa berjalan. Aku ingat saat pertama kali aku masuk sekolah.
Aku ingat semuanya. Aku ingat
saat aku punya teman. Aku ingat semua teman yang kukenal. Aku ingat saat mereka
bukan temanku lagi.
Aku ingat semuanya. Aku ingat
saat aku mulai kesepian. Aku ingat saat ibuku pergi dengan membawa Karra,
saudara kembarku. Aku ingat saat ayahku meninggal akibat terlampau merasa
kesepian seperti aku.