SATU
KANNA menatap rumah barunya yang
sebenarnya tidak terlalu bagus jika dibanding rumah lamanya. Rumah besar yang
hampir seluruhnya terbuat dari kayu. Jika dilihat dari depan, rumah ini
terkesan sempit. Rumah ini memanjang ke belakang. Dan di belakang rumahnya terhampar
hutan Irustone. Memang di daerah Irustone ini sebagian besar berupa hutan
dengan pohon pinus yang menjulang tinggi.
Beranda depan rumah barunya
cukup luas. Terdapat dua kursi kayu dan satu meja bundar yang juga terbuat dari
kayu. Kanna merogoh tas kecilnya dan meraih kunci. Pintu terbuka dengan suara
derit yang menandakan pintu itu sudah tua umurnya. Beruntung sekarang ini masih
siang, jadi kegelapan di sini belum terlalu pekat.
Seperti janji agen perumahan,
perabotan di sini masih sangat bersih. Hampir semua barang di sini tertutup
plastik.
“Ya, aku butuh banyak waktu
untuk membuka semua plastik yang menutupi perabotan di seluruh rumah ini”,
pikir Kanna. Dia memulai dengan membuka plastik yang menutupi sofa. Sofa itu
terasa empuk setelah Kanna mencoba mendudukinya. Kanna menaruh semua barang
bawaannya di sebelah sofa dan kemudian beristirahat sebentar. Lima jam
perjalanan dari kota asalnya membuatnya lelah. Sebenarnya dia ingin segera ke
kamarnya lalu tidur. Bahkan dia masih terlalu malas untuk melakukannya.
Sepuluh menit berlalu, Kanna
beranjak dari kamarnya dan membawa semua tas bawaannya. Dia sengaja memilih
ruangan berjendela yang menghadap ke jalan raya itu untuk kamar tidurnya. Kanna
lebih suka memandang jalan raya daripada harus memandang kegelapan hutan
Irustone.
Lemari di samping kasurnya
segera terisi penuh setelah Kanna selesai mengeluarkan semua bajunya dan
mengosongkan isi tasnya. Kanna hanya membawa baju dan peralatan yang menurutnya
penting. Barang-barang berat lainnya dia percayakan pada jasa pindahan yang
akan mengantarkan semua barangnya besok pagi. Kini Kanna memilih untuk tidur
selagi dia masih lelah dan butuh istirahat.
*****
Baru saja jasa pindahan
mengantarkan barang-barangnya. Semua barang besar seperti lemari, meja, dan bufet
sudah terletak rapi di tempat yang seharusnya. Sekarang giliran Kanna
mengeluarkan barang-barang yang terbungkus kardus. Dan kardus-kardus ini tidak
sedikit jumlahnya. Dimulai dari kardus yang paling dekat dengannya.
Kardus pertama berisi buku-buku.
Mulai dari buku kecil sampai buku besar dan tebal. Segala macam jenis buku ada
di kardus ini. Komik, novel, kamus, buku pelajaran, ensiklopedi, buku panduan,
biografi dan lain-lain. Kanna sangat menyukai buku. Karena memang buku yang
bisa mengalihkan pikirannya dari rasa kesepiannya.
Sejak kecil, Kanna terbiasa
sendiri. Lebih tepatnya sejak orang tuanya berpisah saat umurnya 4 tahun.
Setelah berpisah, ibunya pergi dengan membawa saudara kembarnya, Karra. Karra
adalah satu-satunya teman Kanna. Kanna memang tidak pandai bergaul dengan teman
sebayanya. Bahkan sudah merasa cukup, asal ada Karra.
Berbeda dengan Karra. Sebenarnya
hanya perbedaan kecil. Pada dasarnya, Kanna dan Karra sama-sama pendiam. Namun
Karra lebih terbuka dengan teman-teman yang lain. Di saat Kanna memilih untuk
berdiam di rumah, Karra-lah yang mengajak Kanna bermain di luar, mencari teman.
Tapi saat itu mereka masih sangat kecil. Tentu saja Kanna masih ingat tentang
apa yang terjadi di masa kecilnya. Yang selalu membuat Kanna ingin tahu, seperti
apa Karra sekarang. Di mana dia sekarang?
Mungkin tidak akan sulit
mengenali Karra jika suatu saat mereka bertemu. Ada satu petunjuk valid yang
tidak bisa dipungkiri lagi. Wajah mereka. Kanna dan Karra adalah sepasang
kembar identik. Kadang jika perasaan ingin bertemu sedang sangat memuncak,
Kanna hanya cukup berdiri di depan cermin. Dan menganggap sosok di pantulan
cermin adalah Karra. Walaupun Kanna tidak yakin kalau Karra masih semirip waktu
mereka kecil. Kanna berpikir, mungkin Karra tidak akan punya raut wajah
semurung dirinya.
Bel berbentuk lonceng berbunyi
dari arah pintu depan. Kanna heran, siapa yang datang ke sini? Dia bahkan belum
mengenal seorangpun di daerah sini. Mungkinkah teman-teman dari kota asalnya?
Itu jelas tidak mungkin. Jasa pengangkut barang bisa saja kembali ke sini untuk
mengambil barang yang ketinggalan. Kanna membukakan pintu.
“Selamat pagi, Kanna Sypersone”,
kata seorang wanita yang muncul dari pintu depan. Gadis ini sepertinya seumuran
dengannya. Rambutnya hanya sekitar 10 senti lebih panjang dibanding rambut
Kanna yang sebahu. Hanya saja, rambut gadis itu lebih tebal dan mengombak.
“Bagaimana kau...”, Kanna masih
heran.
“Ah, maaf. Aku tetanggamu.
Namaku Dzaya. D-Z-A-Y-A. Memang sulit untuk mengucapkan namaku. Tapi anggap
saja tidak ada huruf D di namaku”, Dzaya tersenyum. Kanna masih menunjukkan
sikap heran dan bergeming. “Emm, rumahku di sana. Sebelah barat rumahmu.
Mungkin 20 meter dari sini”. Dzaya menunjuk sebelah barat.
“Eh, oke. Ya, silakan masuk.
Maaf berantakan. Kau pasti tahu, aku sedang dalam proses pindahan”, Kanna
mencoba bersikap ramah.
“Ya, tidak buruk. Aku suka rumah
ini”, dia duduk di sofa yang paling dekat dengan pintu.
“Apa kau ingin minum sesuatu?
Tidak banyak yang bisa kepersiapkan untukmu. Mengingat aku sedang... yah,
pindahan. Yang ada di rumah ini hanya perabotan”.
“Jangan khawatir. Sebagai
sambutan selamat datang dari tetangga, aku membawakan ini. Kue buatan ibuku”.
Dzaya menyerahkan bungkusan yang sedari tadi ada di pangkuannya. Kanna
menerimanya dengan takjub.
“Kurasa ini belebihan. Tapi,
terima kasih banyak. Terima kasih”. Kanna berusaha tersenyum setulus mungkin.
Dia benar-benar ingin berterimakasih. Sudah lama sekali dia tidak merasakan
keramahan seperti ini.
“Oh, ini tidak seberapa. Kalau
kau mengizinkan, aku bersedia membantumu mengatur perabotan”, tawar Dzaya.
“Emm, baiklah. Kau bisa memulai
dengan memisahkan buku-buku itu”, Kanna menunjuk kardus-kardus yang berisi
buku.
“Baiklah”, dia beranjak
menghampiri kardus yang belu diselesaikan Kanna.
Kanna masih benar-benar takjub.
Dia baru saja bertemu dengan seseorang yang mau membantu pindahannya-kecuali
jasa pindahan tentu saja-. Dan bukannya dia yang balas memberi sesuatu, justru
tamunyalah yang membawakan kue. Apalagi, Dzaya sangat ramah. Kanna mulai
berpikir untuk menjadikan Dzaya sebagai temannya.
“Apa tidak susah memisahkan
buku-buku ini?”, Kanna berusaha memulai percakapan (yang jarang dia lakukan).
Dia ingin berbicara lebih lama dengan Dzaya.
“Aku sudah terbiasa. Ah ya, aku
lupa memberi tahu. Aku bekerja di Perpustakaan Irustone. Sama sepertimu”.
“Oh ya? Bagus”, Kanna sangat
sulit menyembunyikan rasa senangnya. Bahkan sebelum dia bekerja, dia sudah
menemukan teman yang sangat baik.
Pekerjaan ini juga salah satu
alasan kepindahnnya ke Irustone. Seperti saat dia kecil, hanya buku yang bisa
menghibur Kanna. Selulusnya dari sekolah, Kanna langsung diterima bekerja di
perpustakaan di kota asalnya. Bahkan sebelumnya saat masih sekolah, dia pun
punya kerja sambilan di sebuah taman bacaan. Tapi itu sebelum ayahnya
meninggal. Ia merasa sangat kesepian setelah ayahnya pergi. Bahkan buku tidak
dapat lagi mengisi kekosongan yang ditinggalkan ayahnya.
“Emm, apa kau tinggal sendiri di
sini? Dari tadi aku belum melihat siapapun selain kamu”, tanya Dzaya sambil
melihat sekeliling.
Kanna tertegun. Baru saja dia
merasa kalau rumahnya terasa sangat sepi. “Ya, aku pindah ke sini sendirian”,
jawab Kanna. Sambil berusaha tersenyum.
“Di mana keluargamu? Ayah? Ibu?
Atau mungkin kau punya saudara?”.
“Aku tidak tahu. Yang pasti,
ayahku sudah meninggal. Setahun yang lalu”.
“Ibu?”.
“Orang tuaku berpisah saat
umurku 4 tahun”, Kanna berhenti sejenak. Dia bingung, haruskah dia menceritakan
semuanya pada Dzaya? Kanna baru saja mengenalnya. Tapi sepertinya Kanna percaya
bahwa kelak Dzaya akan menjadi temannya. Dan Kanna melanjutkan, “Dan setelah
itu ibuku pergi membawa serta satu-satunya saudaraku”.
“Oh”, jeda beberapa saat. “Maaf,
aku sudah membuatmu bercerita seperti ini”, kata Dzaya agak lirih, masih sambil
memisah-misah buku.
“Aku dari dulu memang ingin
bercerita tentang ini. Hanya saja, aku belum menemukan orang yang tepat untuk
mendengarkan”.
“Emmm, terima kasih sudah mau
bercerita padaku. Kalau kau merasa kesepian di rumah ini, kau boleh pergi ke
rumahku. Aku tinggal dengan ibuku. Atau kalau tidak, kapan saja kau bisa
memintaku untuk menginap di sini”, kata Dzaya sambil tertawa.
Kanna ikut tertawa. Kemudian
mereka terus saling bercerita tentang masa lalu mereka berdua.
“Sepertinya aku pernah melihat seseorang
yang sangat mirip denganmu”, kata Dzaya sambil lalu.
Seketika Kanna langsung terdiam.
Lalu bertanya,”Di mana kau melihatnya?”
“Emm, tidak jauh”.
“Namanya? Karra?”.
“Aku tidak tahu. Sepertinya
bukan. Sudahlah, lain kali mungkin aku bertemu orang itu lagi”, kata Dzaya.
“Baiklah”, Kanna memusatkan
perhatiannya ke buku-buku lagi.
*****
“Terima kasih atas bantuannya.
Lain kali aku yang akan mengunjungi rumahmu”, Kanna mengantarkan Dzaya sampai
di pagar rumahnya.
“Akan kutunggu”, Dzaya berjalan keluar,
menuju ke arah rumahnya.
Dan Kanna terus memperhatikan
Dzaya sampai tidak terlihat lagi.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar