Rabu, 28 Mei 2014

Because I’m a Trueblue



Kenapa saya harus ke Inggris?
Yah, ada banyak hal yang harus bikin aku terbang ke Inggris, urgent banget soalnya, menyangkut masa depanku. Karena aku harus ketemu calon suamiku pangeran Harry, jenguk keponakan (bayinya kakak William), dan ketemu calon mertua pangeran Charles mumpung mau lebaran. Mungkin aku harus bawa ketupat opor sekalian *trus habis tu aku ketangkep polisi Inggris karena dianggap gila* Hahaha -_-
Seriusan ini, ada ‘sesuatu’ yang bikin aku pengen banget ke Inggris. Kenapa kenapa kenapa? Because I’m a Trueblue. *cieeee*. Trueblue apaan sih? Apakah aku harus bener-bener biru? Digebukin juga bisa jadi biru. Hmmm, haruskah aku nyebur cat air warna biru? Emang aku kuas? Hohoho. Bukaaan,  Trueblue itu fans-nya klub paling keren sedunia (menurut gue) mana lagi kalo bukan The Blues Chelsea *horeeeee* :D
Percaya gak kalo aku Trueblue??? cerita dikit ni ye, aku suka Chelsea udah dari SMP bro (sekarang udah kuliah smester akhir). Pertama kali alasannya karena Chelsea seragamnya warnanya biru. Nah lo, polos bgt kan aku?? trus gak sengaja tu liat kaptennya yang keren itu, om Terry (boleh dong panggil om, kan waktu itu aku masih SMP). Setelah itu keterusan deh nonton dan ngikuti Chelsea terus.
Hingga di masa-masa kelam pun, cuma Chelsea yang menemaniku #ciegitu. Ketika malam minggu itu malam yang panjang, temen-temen gue pada pergi entah kemana mencari wangsit atau apalah gitu, aku cukup melakukan satu hal. Nonton Liga Inggris. (gue nyeritain ini separo bangga separo ngenes). Huhuhuhu. Modal tivi sama listrik (yang tentu aja punya orang tua gue), malem mingguku di temenin 11 cowok keren. Mulai dari jaman masih ada Sheva, Drogba, dan jaman keemasannya Lampard. Mulai dari pelatihnya Mourinho sampe gonta-ganti dan sekarang balik ke Mourinho lagi.
Aku sempet vakum juga beberapa saat. Kenapa? Gue ujian Nasional men, beneran, Ujian Nasional !!!!!(njuk ngopo?). Kan sebagai pelajar Indonesia yang baik, wajar dong kalo aku pengen ikut mencerdaskan bangsa dengan mensuskseskan ujian nasional. Iya gak? Iya dong. Jadi aku puasa nonton Liga Inggris dulu. Eh tapi kayaknya puasanya keterusan -_-. Karena puasa Liga Inggris itu ada, tapi kan Lebaran Liga Inggris itu gak ada. Akhirnya aku malah keterusan jadi gak ngikutin Liga Inggris lagi nyampe sekarang. Huhuhuhu. Tolong maafkan sayaaaaaaa *nyodorin kepala siap dipenggal* :p
Hingga tiba saatnya ada kabar kalo Chelsea dateng ke Indonesia. Oh meeeen, aku kira om Terry dan kawan-kawan itu cuma pangeran negeri dongeng yang bisa diliat wujud gantengnya tapi sebenernya mereka hanyalah ilusi. Bukan bukan, mereka bukan ilusi. Mereka beneran dateng ke Indonesia dan kalo kita dateng ke Jakarta, kita bisa liat mereka secara langsung. Aigoooooo :3
Tapi ya apalah daya, mugkin belum jodoh untuk nonton om Terry secara langsung. Waktu itu lagi ramadhan juga kan, jadi ya sudahlah. Aku terima hanya dengan nonton siaran langsung mereka dari GBK, nonton dari tivi setelah sholat tarawih. Huhuhu. tapi setelah itu muncul keinginan baru, sambil aku update status di fesbuk, “sekerang belum bisa nonton Chelsea di jakarta, tapi suatu saat aku pasti nonton mereka di Stamford Bridge London Inggris”. Cieeee, nulis itu sambil pake semangat membara bung. Hahahaha :D
Bayangan bisa ke London, ke kompleks stadion Stamford Bridge bikin aku makin membiru. Apanya? Mukanya? Bukan, tapi hatinya *eciieeeee*. Gak harus masuk ke stadionnya gak apa2 lah. konon katanya di sekitar Stamford Bridge, rumah-rumah di sana itu serba biru semua. Bayangkan aku bisa kesana, berbaur dengan para Trueblue dari negara kelahiran Chelsea? Subhanallah, itu juga jadi salah satu impianku. Target lah, selama aku hidup,aku gak akan berhenti berusaha untuk minimal 1 kali mengunjungi Stamford Bridge. Bolehkan kan mimpi? Boleh dong, kan mimpi tu gratis :p
Nah, semuanya aja nih yang pernah baca blog ini, mungkin kalo bukan taun ini, taun depan, atau dalam waktu dekat ini, liat aja ya. Insya Allah aku pasti ke Inggris. Entah lewat menang undian, beasiswa, liburan, kuliah S2, atau apapun itu. Mau 5 taun lg, 10 taun lg, atau bahkan saat aku udah tua nanti,  Insya Allah, aku pasti ke Inggris!!!!!!
Okeee, arigatoooo. Follow me @irhamnisa :3 :*

Selasa, 13 Mei 2014

"Eys People" part 1


SATU

                KANNA menatap rumah barunya yang sebenarnya tidak terlalu bagus jika dibanding rumah lamanya. Rumah besar yang hampir seluruhnya terbuat dari kayu. Jika dilihat dari depan, rumah ini terkesan sempit. Rumah ini memanjang ke belakang. Dan di belakang rumahnya terhampar hutan Irustone. Memang di daerah Irustone ini sebagian besar berupa hutan dengan pohon pinus yang menjulang tinggi.
                Beranda depan rumah barunya cukup luas. Terdapat dua kursi kayu dan satu meja bundar yang juga terbuat dari kayu. Kanna merogoh tas kecilnya dan meraih kunci. Pintu terbuka dengan suara derit yang menandakan pintu itu sudah tua umurnya. Beruntung sekarang ini masih siang, jadi kegelapan di sini belum terlalu pekat.
                Seperti janji agen perumahan, perabotan di sini masih sangat bersih. Hampir semua barang di sini tertutup plastik.
                “Ya, aku butuh banyak waktu untuk membuka semua plastik yang menutupi perabotan di seluruh rumah ini”, pikir Kanna. Dia memulai dengan membuka plastik yang menutupi sofa. Sofa itu terasa empuk setelah Kanna mencoba mendudukinya. Kanna menaruh semua barang bawaannya di sebelah sofa dan kemudian beristirahat sebentar. Lima jam perjalanan dari kota asalnya membuatnya lelah. Sebenarnya dia ingin segera ke kamarnya lalu tidur. Bahkan dia masih terlalu malas untuk melakukannya.
                Sepuluh menit berlalu, Kanna beranjak dari kamarnya dan membawa semua tas bawaannya. Dia sengaja memilih ruangan berjendela yang menghadap ke jalan raya itu untuk kamar tidurnya. Kanna lebih suka memandang jalan raya daripada harus memandang kegelapan hutan Irustone.
                Lemari di samping kasurnya segera terisi penuh setelah Kanna selesai mengeluarkan semua bajunya dan mengosongkan isi tasnya. Kanna hanya membawa baju dan peralatan yang menurutnya penting. Barang-barang berat lainnya dia percayakan pada jasa pindahan yang akan mengantarkan semua barangnya besok pagi. Kini Kanna memilih untuk tidur selagi dia masih lelah dan butuh istirahat.
*****
                Baru saja jasa pindahan mengantarkan barang-barangnya. Semua barang besar seperti lemari, meja, dan bufet sudah terletak rapi di tempat yang seharusnya. Sekarang giliran Kanna mengeluarkan barang-barang yang terbungkus kardus. Dan kardus-kardus ini tidak sedikit jumlahnya. Dimulai dari kardus yang paling dekat dengannya.
                Kardus pertama berisi buku-buku. Mulai dari buku kecil sampai buku besar dan tebal. Segala macam jenis buku ada di kardus ini. Komik, novel, kamus, buku pelajaran, ensiklopedi, buku panduan, biografi dan lain-lain. Kanna sangat menyukai buku. Karena memang buku yang bisa mengalihkan pikirannya dari rasa kesepiannya.
                Sejak kecil, Kanna terbiasa sendiri. Lebih tepatnya sejak orang tuanya berpisah saat umurnya 4 tahun. Setelah berpisah, ibunya pergi dengan membawa saudara kembarnya, Karra. Karra adalah satu-satunya teman Kanna. Kanna memang tidak pandai bergaul dengan teman sebayanya. Bahkan sudah merasa cukup, asal ada Karra.
                Berbeda dengan Karra. Sebenarnya hanya perbedaan kecil. Pada dasarnya, Kanna dan Karra sama-sama pendiam. Namun Karra lebih terbuka dengan teman-teman yang lain. Di saat Kanna memilih untuk berdiam di rumah, Karra-lah yang mengajak Kanna bermain di luar, mencari teman. Tapi saat itu mereka masih sangat kecil. Tentu saja Kanna masih ingat tentang apa yang terjadi di masa kecilnya. Yang selalu membuat Kanna ingin tahu, seperti apa Karra sekarang. Di mana dia sekarang?
                Mungkin tidak akan sulit mengenali Karra jika suatu saat mereka bertemu. Ada satu petunjuk valid yang tidak bisa dipungkiri lagi. Wajah mereka. Kanna dan Karra adalah sepasang kembar identik. Kadang jika perasaan ingin bertemu sedang sangat memuncak, Kanna hanya cukup berdiri di depan cermin. Dan menganggap sosok di pantulan cermin adalah Karra. Walaupun Kanna tidak yakin kalau Karra masih semirip waktu mereka kecil. Kanna berpikir, mungkin Karra tidak akan punya raut wajah semurung dirinya.
                Bel berbentuk lonceng berbunyi dari arah pintu depan. Kanna heran, siapa yang datang ke sini? Dia bahkan belum mengenal seorangpun di daerah sini. Mungkinkah teman-teman dari kota asalnya? Itu jelas tidak mungkin. Jasa pengangkut barang bisa saja kembali ke sini untuk mengambil barang yang ketinggalan. Kanna membukakan pintu.
                “Selamat pagi, Kanna Sypersone”, kata seorang wanita yang muncul dari pintu depan. Gadis ini sepertinya seumuran dengannya. Rambutnya hanya sekitar 10 senti lebih panjang dibanding rambut Kanna yang sebahu. Hanya saja, rambut gadis itu lebih tebal dan mengombak.
                “Bagaimana kau...”, Kanna masih heran.
                “Ah, maaf. Aku tetanggamu. Namaku Dzaya. D-Z-A-Y-A. Memang sulit untuk mengucapkan namaku. Tapi anggap saja tidak ada huruf D di namaku”, Dzaya tersenyum. Kanna masih menunjukkan sikap heran dan bergeming. “Emm, rumahku di sana. Sebelah barat rumahmu. Mungkin 20 meter dari sini”. Dzaya menunjuk sebelah barat.
                “Eh, oke. Ya, silakan masuk. Maaf berantakan. Kau pasti tahu, aku sedang dalam proses pindahan”, Kanna mencoba bersikap ramah.
                “Ya, tidak buruk. Aku suka rumah ini”, dia duduk di sofa yang paling dekat dengan pintu.
                “Apa kau ingin minum sesuatu? Tidak banyak yang bisa kepersiapkan untukmu. Mengingat aku sedang... yah, pindahan. Yang ada di rumah ini hanya perabotan”.
                “Jangan khawatir. Sebagai sambutan selamat datang dari tetangga, aku membawakan ini. Kue buatan ibuku”. Dzaya menyerahkan bungkusan yang sedari tadi ada di pangkuannya. Kanna menerimanya dengan takjub.
                “Kurasa ini belebihan. Tapi, terima kasih banyak. Terima kasih”. Kanna berusaha tersenyum setulus mungkin. Dia benar-benar ingin berterimakasih. Sudah lama sekali dia tidak merasakan keramahan seperti ini.
                “Oh, ini tidak seberapa. Kalau kau mengizinkan, aku bersedia membantumu mengatur perabotan”, tawar Dzaya.
                “Emm, baiklah. Kau bisa memulai dengan memisahkan buku-buku itu”, Kanna menunjuk kardus-kardus yang berisi buku.
                “Baiklah”, dia beranjak menghampiri kardus yang belu diselesaikan Kanna.
                Kanna masih benar-benar takjub. Dia baru saja bertemu dengan seseorang yang mau membantu pindahannya-kecuali jasa pindahan tentu saja-. Dan bukannya dia yang balas memberi sesuatu, justru tamunyalah yang membawakan kue. Apalagi, Dzaya sangat ramah. Kanna mulai berpikir untuk menjadikan Dzaya sebagai temannya.
                “Apa tidak susah memisahkan buku-buku ini?”, Kanna berusaha memulai percakapan (yang jarang dia lakukan). Dia ingin berbicara lebih lama dengan Dzaya.
                “Aku sudah terbiasa. Ah ya, aku lupa memberi tahu. Aku bekerja di Perpustakaan Irustone. Sama sepertimu”.
                “Oh ya? Bagus”, Kanna sangat sulit menyembunyikan rasa senangnya. Bahkan sebelum dia bekerja, dia sudah menemukan teman yang sangat baik.
                Pekerjaan ini juga salah satu alasan kepindahnnya ke Irustone. Seperti saat dia kecil, hanya buku yang bisa menghibur Kanna. Selulusnya dari sekolah, Kanna langsung diterima bekerja di perpustakaan di kota asalnya. Bahkan sebelumnya saat masih sekolah, dia pun punya kerja sambilan di sebuah taman bacaan. Tapi itu sebelum ayahnya meninggal. Ia merasa sangat kesepian setelah ayahnya pergi. Bahkan buku tidak dapat lagi mengisi kekosongan yang ditinggalkan ayahnya.
                “Emm, apa kau tinggal sendiri di sini? Dari tadi aku belum melihat siapapun selain kamu”, tanya Dzaya sambil melihat sekeliling.
                Kanna tertegun. Baru saja dia merasa kalau rumahnya terasa sangat sepi. “Ya, aku pindah ke sini sendirian”, jawab Kanna. Sambil berusaha tersenyum.
                “Di mana keluargamu? Ayah? Ibu? Atau mungkin kau punya saudara?”.
                “Aku tidak tahu. Yang pasti, ayahku sudah meninggal. Setahun yang lalu”.
                “Ibu?”.
                “Orang tuaku berpisah saat umurku 4 tahun”, Kanna berhenti sejenak. Dia bingung, haruskah dia menceritakan semuanya pada Dzaya? Kanna baru saja mengenalnya. Tapi sepertinya Kanna percaya bahwa kelak Dzaya akan menjadi temannya. Dan Kanna melanjutkan, “Dan setelah itu ibuku pergi membawa serta satu-satunya saudaraku”.
                “Oh”, jeda beberapa saat. “Maaf, aku sudah membuatmu bercerita seperti ini”, kata Dzaya agak lirih, masih sambil memisah-misah buku.
                “Aku dari dulu memang ingin bercerita tentang ini. Hanya saja, aku belum menemukan orang yang tepat untuk mendengarkan”.
                “Emmm, terima kasih sudah mau bercerita padaku. Kalau kau merasa kesepian di rumah ini, kau boleh pergi ke rumahku. Aku tinggal dengan ibuku. Atau kalau tidak, kapan saja kau bisa memintaku untuk menginap di sini”, kata Dzaya sambil tertawa.
                Kanna ikut tertawa. Kemudian mereka terus saling bercerita tentang masa lalu mereka berdua.
                “Sepertinya aku pernah melihat seseorang yang sangat mirip denganmu”, kata Dzaya sambil lalu.
                Seketika Kanna langsung terdiam. Lalu bertanya,”Di mana kau melihatnya?”
                “Emm, tidak jauh”.
                “Namanya? Karra?”.
                “Aku tidak tahu. Sepertinya bukan. Sudahlah, lain kali mungkin aku bertemu orang itu lagi”, kata Dzaya.
                “Baiklah”, Kanna memusatkan perhatiannya ke buku-buku lagi.
*****
                “Terima kasih atas bantuannya. Lain kali aku yang akan mengunjungi rumahmu”, Kanna mengantarkan Dzaya sampai di pagar rumahnya.
                “Akan kutunggu”, Dzaya berjalan keluar, menuju ke arah rumahnya.
                Dan Kanna terus memperhatikan Dzaya sampai tidak terlihat lagi.
*****

Prolog (calon) Novel "Eys People"

siapa sih yang gak pengen jadi novelis. iya gak? jadi gak ada salahnya dong kalo aku juga coba-coba nulis. ini ada prolog dari calon novel. kalo aneh, ya komen aja. kalo penasaran ya komen juga. kenapa cuma prolog? pelit amat? ya namanya juga cuma buat pancingan. hahahaha






PROLOG

                AKU ingat semuanya. Aku ingat saat pertama kali aku bisa mengucapkan sepatah kata. Aku ingat saat pertama kali aku bisa berjalan. Aku ingat saat pertama kali aku masuk sekolah.
                Aku ingat semuanya. Aku ingat saat aku punya teman. Aku ingat semua teman yang kukenal. Aku ingat saat mereka bukan temanku lagi.
                Aku ingat semuanya. Aku ingat saat aku mulai kesepian. Aku ingat saat ibuku pergi dengan membawa Karra, saudara kembarku. Aku ingat saat ayahku meninggal akibat terlampau merasa kesepian seperti aku.
                Aku ingat semuanya.


udah, cukup sekian. hahaha :p